Rabu, 24 Maret 2010

Penemuan Baru di Solo


Kamis, 25 Maret 2010 | 13:10 WIB

Ketika mengetahui bahwa saya akan berkunjung ke Solo, Hengky Kustanto, seorang eksekutif muda sukses yang berasal dari Solo, segera memberi saya beberapa alamat untuk saya kunjungi. Kalau dalam istilah Belanda, Hengky memang datang dari keluarga yang punya reputasi sebagai lekkerbek–alias gourmand, alias foodie. Ayahnya, Priyo Hadi Sutanto, juga terkenal pedoyan makan. Begitu pula abang sepupunya, Joko Mogoginta. Kalau keluarga ini berkumpul, pastilah acara utama mereka adalah makan-makan.

Alamat pertama yang saya kunjungi adalah sebuah warung yang letaknya tidak jauh dari Bandara Adisumarmo. Persisnya di Jalan Colomadu, Kartasura. Hengky mewanti-wanti saya: "Jangan salah, ya? Yang asli adalah warung tua bercat hijau yang lebih mendekati lampu merah-hijau."
Untunglah saya sudah mendapat warning seperti itu. Soalnya, hanya dua rumah dari warung yang dimaksud, ada satu rumah makan yang tampak lebih rapi dengan nama mirip. Keduanya memakai nama Semar. Tetapi, yang asli memakai nama Rumah Makan Mbah Semar. Ternyata, rumah makan yang juga memakai nama Semar itu hanya menumpang ketenaran Mbah Semar. Sama sekali tidak ada hubungan keluarga.

Di Rumah Makan Mbah Semar, suasananya memang menampilkan masa lalu dengan kental. Ada dua papan besar dengan cantuman menu djadoel. Coba bayangkan, masakan dan minuman model apa yang disebut sebagai: Suryo Ndadari, Nasi Merdeka, Pak Lae, Cap Jae, Misowa, Soklat Susu, Wedang Serbat, Es Setrup, Es Kuas? He-he-he....

Kalau melihat ada sebuah jam besar bermerek Junghans model antik di rumah makan itu, pastilah pada masa lalu Mbah Semar merupakan tempat yang cukup bergengsi. Sekarang, Rumah Makan Mbah Semar tidak lagi menyajikan berbagai hidangan seperti masa lalu. Tetapi, hidangan populer di tempat itu–dari dulu hingga sekarang–adalah garang asem. Sajian "maut" inilah yang tampaknya menjadi alasan mengapa Mbah Semar masih bertahan hingga sekarang. Bahkan, ditiru orang lain.

Sebagai penggemar garang asem, tentulah saya tidak akan melewatkan sajian Mbah Semar. Penampakan luarnya sangat mirip dengan garang asem Kudus favorit saya. Bungkusan besar dari daun pisang yang dikukus berjam-jam agar ayamnya lunak di dalam. Tentu saja, ayamnya harus ayam kampung. Bumbu utamanya pun mirip: cabe rawit, tomat hijau, blimbing wuluh. Bedanya: di Mbah Semar cabe rawitnya tidak terlalu banyak sehingga tingkat kepedasannya cukup sopan. Pembeda utama yang membuat garang asem Mbah Semar istimewa adalah telur ayam.

Sebutir telur ayam dipecahkan ke dalam bungkusan daun pisang itu, kemudian baru dikukus. Hasilnya? Putih telur bercampur dengan kaldu sehingga membuat kuahnya agak kental, sedangkan kuning telurnya menggumpal sendiri. Gurih buanget!

Hidangan andalan lain yang selalu dicari pelanggan Mbah Semar adalah pis kopyor. Ini adalah jajanan yang sudah makin langka. Terbuat dari seiris roti tawar, beberapa potong pisang, dan serutan kelapa muda, dibungkus di dalam paket daun pisang dengan sedikit santan dan gula, lalu dikukus. Agak mirip bongko pisang di Jawa atau barongko di Makassar.

Duh, pencuci mulut djadoel ini memang membuat termimpi-mimpi. Tidak heran apabila banyak tamu dari Jakarta yang nekat membawa bungkusan pis kopyor dan garang asem pulang naik pesawat. Soalnya, kuah kedua sajian khas ini berisiko tumpah dari bungkusan daun pisangnya.

Di Jalan Slamet Riyadi

Alamat kedua dari Hengky yang saya kunjungi adalah Warung Spesial Ikan Bakar 310 di Jalan Slamet Riyadi. Sebetulnya kurang tepat disebut warung, mengingat tempat makan ini berada di sebuah rumah besar di jalan protokol Solo.

Pemiliknya, Soeroto Jarmanto, langsung menghampiri saya untuk menjelaskan ikan apa saja yang tersedia malam itu. Seorang pramusaji membawa nampan berisi beberapa ikan segar yang ingin disajikan. Ada kakap, kerapu, dan ikan kuwe.

"Maaf, pilihannya sudah tidak banyak malam ini. Kalau sudi datang lagi besok malam, kami akan dapat menyajikan mahi-mahi, kaneke, dan lain-lain," kata Soeroto.

Mahi-mahi? Ini adalah jenis ikan populer dan cukup mahal di Hawaii. Di Sulawesi Selatan, ikan jenis ini juga banyak dijumpai di laut dengan nama lokal lemadang. Masyarakat Sulawesi Selatan kurang menyukai ikan ini karena mereka menganggapnya sebagai ikan gatal. Seperti juga tuna dan tongkol, lemadang memang mengandung histamin alamiah. Akibatnya, kalau ikan tidak segera didinginkan dengan es, histaminnya akan muncul dan mengakibatkan gatal.

Soeroto ternyata punya pengetahuan yang bagus tentang berbagai jenis ikan. Sebelumnya ia bekerja sebagai manajer di sebuah perusahaan multinasional. Setelah pensiun, ia menyalurkan cintanya kepada kuliner hasil laut dengan membuka "warung" di rumah orangtuanya. Ikan-ikan segar dibeli di Bali melalui seorang kenalannya, lalu dikirim dalam peti es ke Solo dengan bus malam. Setiap hari, Warung Spesial Ikan Bakar 310 selalu menyajikan berbagai ikan laut dengan tingkat kesegaran yang bagus.

Di Solo, selain warung-warung tenda yang menyajikan masakan hasil laut khas Lamongan, ada dua warung seafood yang populer, yaitu: Pak Petruk dan Mbak Mar. Pak Petruk lebih dikenal karena masakan Tiociu Muslim dan kepitingnya. Sedangkan Mbak Mar dikenal karena ikan goreng–baik ikan laut maupun ikan darat. Ada lagi Raja Kepiting yang sekalipun baru sudah mulai populer. "Warung"-nya Mas Soeroto jelas beda dari Pak Petruk, Mbak Mar, ataupun Raja Kepiting.

Pertama, kualitas dan jenis ikannya berbeda. Kedua, cara masak dan penyajiannya pun sangat beda. Ketiga, tentu saja ambience yang berbeda. Kalau yang lain boleh dikategorikan sebagai fun seafood resto, punya Mas Soeroto termasuk serious seafood resto. Serius dalam arti kualitas sajian, sekalipun tempatnya tetap santai. Quality, not quantity!

Karena hanya makan sendirian, saya memilih baramundi kecil dan menyerahkan cara masaknya ke Mas Soeroto. Yang kemudian tersaji sungguh tidak mengecewakan. Kualitas pembakarannya mirip cara Makassar–garing di luar tanpa gosong. Sausnya kental berwarna kekuningan. Ada sedikit rasa pedas, tetapi bukan dari cabe, melainkan dari jahe. Gurih bumbunya perlu diacungi jempol. Sajian seperti ini dapat diterima anak-anak dan orang asing yang kurang akrab dengan masakan pedas.

Acungan jempol

Catatan kuliner kali ini ingin saya sudahi dengan acungan jempol kepada masyarakat Solo yang berhasil menghidupkan kembali sajian masa lalu. Kalau beberapa tahun yang lalu cabuk rambak sempat hilang dari peta kuliner Solo, sekarang makanan sederhana ini mulai bermunculan di berbagai tempat. Cabuk rambak adalah ketupat superbesar yang diiris tipis, lalu disiram dengan sambal wijen, disajikan dengan gendar (krupuk nasi) atau rambak (krupuk kulit). Tidak hanya di sekitar lampu bang-jo Jalan Ketandan, tetapi juga dicantumkan dalam menu berbagai rumah makan. Bahkan, di beberapa perhelatan di Solo, gubuk cabuk rambak tampak hadir.

Sayangnya, brambang asem–daun ubi jalar rebus diguyur sambal gula merah dengan lauk tempe gembus–masih dalam posisi terancam kelestariannya. Dari dua penjual tradisional di Jalan Gatot Subroto, sekarang tinggal seorang yang berjualan.

Untungnya, pecel sambal tumpang dan pecel sambal wijen–dihidangkan dengan pilihan nasi beras merah–sekarang malah kian banyak bermunculan di berbagai tempat. Di sekitar Gelora Manahan, cukup banyak penjual makanan gandem-marem ini. Sukses Pecel Solo Waroeng Tempo Doeloe menampilkan kuliner tradisional agaknya disambut hangat oleh masyarakat Solo dan para wisatawan.

Ternyata, orang Solo yang memang punya hobi keplek ilat (berjudi lidah) masih menyimpan cukup banyak rahasia kuliner, lama ataupun baru.

Sumber : KOMPAS.com, 25 Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar