Senin, 22 Maret 2010 | 16.45 WIB
Jakarta - Apa yang menarik dari kota New York? Apa yang bisa ditonton di kota tersibuk di dunia itu? Pertanyaan-pertanyaan ini selalu mengemuka tatkala percakapan mengarah ke arah keinginan melancong ke kota berpenduduk 22 juta jiwa ini.
Warganya pasti terperangkap dalam kesibukan dan kehirukan luar biasa. Percakapan tentang hal-hal yang bersifat manusiawi tentu masih ada, tetapi akan terasa lirih di tengah amat gaduhnya kompetisi memenangi kerasnya hidup di New York. Biaya hidup di sini mahal, malah merupakan salah satu kota termahal di dunia. Jurang kaya sekali dan miskin sekali terbentang amat lebar. Kaum papa yang kalah bertarung dipandang sebagai sampah kota dan mereka layaknya berada di tepi jalan, di sentra penampungan sampah, dan di bawah jembatan.
Sinar matahari di beberapa sentra bisnis sering tak terasa karena sepenuhnya tertutup oleh gedung-gedung pencakar langit, dengan tinggi minimal 60 lantai. Lalu apakah datang ke kota ini hanya untuk berbelanja barang-barang mahal dan melihat gedung-gedung super-jangkung?
Akan tetapi, tidak adil kalau memandang New York hanya dari sudut pandang negatif. Datanglah ke kawasan Times Square atau di sudut Duffy Square di Broadway Avenue. Di sini masyarakat memenuhi semua badan jalan, duduk di semua ruang terbuka di sana untuk menikmati kemegahan dan keramahan yang masih tersisa di New York. Di sini masyarakat dari semua lapisan berbaur jadi satu, dalam semangat egalitarian. Mereka bisa bernyanyi dengan riang, menari, serta bermain gitar dan harmonika dengan suara keras tanpa ada yang melarang atau terganggu. Square yang memang termasyhur ini sukses menyatukan warga.
Di Square dan daerah sekitarnya ini pula masyarakat bisa berhimpun sampai tiga juta orang untuk merayakan tahun baru atau hari kemenangan gemilang Amerika. Di titik ini jua, puluhan bahkan ratusan miliar dollar AS tiap hari berputar sebab inilah salah satu sentra bisnis yang strategis dan terpandang.
Kota dengan luas 1.214 kilometer persegi ini juga boleh berbangga sebab ia satu dari segelintir kota dunia yang mempunyai taman amat luas, yakni 3,4 kilometer persegi. Di situ masyarakat dunia berkumpul dengan rileks, bercanda, dan merasa damai dipeluk kawasan berpohon lebat. Bayangkan, di tengah kota yang demikian sibuk terdapat taman di pusat kota yang luasnya hampir setara kota Ambon lama. Taman inilah yang mengilhami banyak pengusaha Indonesia, termasuk pengembang senior Trihatma Kusuma Haliman membangun Central Park di Podomoro City. Trihatma mengatakan, proyek-proyeknya akan selalu dibangun dengan elan Central Park.
Dengarlah ucapan seorang anak 12 tahun yang menemani ayahnya menjual hotdog di sudut Broadway. “Ayah, hampir semua pohon di New York gundul, ditinggal daun-daunnya. Namun, mereka tampak bahagia dengan kesendiriannya. Pohon-pohon itu sangat percaya diri, tetap tegak, karena percaya, pada awal musim semi, ia akan berdaun lagi. Akan cantik dan gagah kembali. Di beberapa taman, tunas-tunas pohon tulip bahkan sudah tumbuh. Seperti itulah semangat saya, Ayah. Biarkan saya ikut bertarung hidup di sini. Siapa tahu saya bisa mendekati prestasi orang-orang besar Amerika, seperti Abraham Lincoln, Kennedy, Clinton, dan Obama.”
Tak jelas apakah suara anak menjelang remaja itu terdengar oleh ayahnya atau tidak. Suara di Square itu sungguh gaduh.
Warganya pasti terperangkap dalam kesibukan dan kehirukan luar biasa. Percakapan tentang hal-hal yang bersifat manusiawi tentu masih ada, tetapi akan terasa lirih di tengah amat gaduhnya kompetisi memenangi kerasnya hidup di New York. Biaya hidup di sini mahal, malah merupakan salah satu kota termahal di dunia. Jurang kaya sekali dan miskin sekali terbentang amat lebar. Kaum papa yang kalah bertarung dipandang sebagai sampah kota dan mereka layaknya berada di tepi jalan, di sentra penampungan sampah, dan di bawah jembatan.
Sinar matahari di beberapa sentra bisnis sering tak terasa karena sepenuhnya tertutup oleh gedung-gedung pencakar langit, dengan tinggi minimal 60 lantai. Lalu apakah datang ke kota ini hanya untuk berbelanja barang-barang mahal dan melihat gedung-gedung super-jangkung?
Akan tetapi, tidak adil kalau memandang New York hanya dari sudut pandang negatif. Datanglah ke kawasan Times Square atau di sudut Duffy Square di Broadway Avenue. Di sini masyarakat memenuhi semua badan jalan, duduk di semua ruang terbuka di sana untuk menikmati kemegahan dan keramahan yang masih tersisa di New York. Di sini masyarakat dari semua lapisan berbaur jadi satu, dalam semangat egalitarian. Mereka bisa bernyanyi dengan riang, menari, serta bermain gitar dan harmonika dengan suara keras tanpa ada yang melarang atau terganggu. Square yang memang termasyhur ini sukses menyatukan warga.
Di Square dan daerah sekitarnya ini pula masyarakat bisa berhimpun sampai tiga juta orang untuk merayakan tahun baru atau hari kemenangan gemilang Amerika. Di titik ini jua, puluhan bahkan ratusan miliar dollar AS tiap hari berputar sebab inilah salah satu sentra bisnis yang strategis dan terpandang.
Kota dengan luas 1.214 kilometer persegi ini juga boleh berbangga sebab ia satu dari segelintir kota dunia yang mempunyai taman amat luas, yakni 3,4 kilometer persegi. Di situ masyarakat dunia berkumpul dengan rileks, bercanda, dan merasa damai dipeluk kawasan berpohon lebat. Bayangkan, di tengah kota yang demikian sibuk terdapat taman di pusat kota yang luasnya hampir setara kota Ambon lama. Taman inilah yang mengilhami banyak pengusaha Indonesia, termasuk pengembang senior Trihatma Kusuma Haliman membangun Central Park di Podomoro City. Trihatma mengatakan, proyek-proyeknya akan selalu dibangun dengan elan Central Park.
Dengarlah ucapan seorang anak 12 tahun yang menemani ayahnya menjual hotdog di sudut Broadway. “Ayah, hampir semua pohon di New York gundul, ditinggal daun-daunnya. Namun, mereka tampak bahagia dengan kesendiriannya. Pohon-pohon itu sangat percaya diri, tetap tegak, karena percaya, pada awal musim semi, ia akan berdaun lagi. Akan cantik dan gagah kembali. Di beberapa taman, tunas-tunas pohon tulip bahkan sudah tumbuh. Seperti itulah semangat saya, Ayah. Biarkan saya ikut bertarung hidup di sini. Siapa tahu saya bisa mendekati prestasi orang-orang besar Amerika, seperti Abraham Lincoln, Kennedy, Clinton, dan Obama.”
Tak jelas apakah suara anak menjelang remaja itu terdengar oleh ayahnya atau tidak. Suara di Square itu sungguh gaduh.
Sumber : KOMPAS.com, 21 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar